“Hey sebenarnya bagaimana si
perasaanmu ke aku? Kita dekat tapi tak ada ikatan yang mengikat.”
“Mungkin
cinta,”
“Loh
kok mungkin? Gak pasti banget jawabanmu jadi cowok.”
“Iya
memang adanya begitu, tunggu saja besok kalau kita sudah menikah baru aku jawab
dengan pasti.”
“Jadi
kamu mau nikah sama aku, yakin?”
“He,em.”
“Hehee,
jadi malu.”
“Gantian
Tanya boleh?”
“Boleh,
Tanya apa sih?”
“Kalau
perasaanmu ke aku si bagaimana?”
“Mungin
cinta juga.”
“Loh kok
jadi ikut-ikutan?”
“Soalnya, semakin banyak kemungkinan yang sama kan semakin besar kemungkinan itu jadi
sebuah kenyataan.”
“Hahaha
bisa aja kamu, ayo pulang sudah sore nih nanti kemalaman pulangnya.”
Aku
selalu mengingat percakapan kita di rumah makan sore itu, saat kamu coba
memastikan hubungan kita dulu, saat-saat yang menyebalkan yang membuatku
sedikit terpaku. Haaah (menghela napas). Menyebalkan memang mengingat saat-saat
indah ketika hubungan telah berubah.
Tapi cinta memang begitu, tidak ada yang tahu siapa jodoh yang
sesungguhnya. Bertahun-tahun bersama tapi akhirnya menikah dengan orang yang
baru berjumpa. Kadang lucu tapi seringkali menyesakan hati, membuat kesal tapi
kadang ingin mentertawakan diri sendiri.
Hari
ini adalah hari pernikahan Melly, orang yang menyebalkan yang perkataanya
selalu kuturuti (dulu). Kalian tak perlu kasihan padaku, karena sekali lagi
memang begitulah cinta. “Kau harus bersiap menerima kehilangan saat kau merasa
memiliki.” Begitulah kata-kata bijak menyebalkan yang terus terngiang di
telingaku.
* * *
Pukul
19.30 aku pergi ke rumah Melly sendirian, ku rapal doa-doa agar aku siap
menghadapi kenyataan bahwa orang yang dulu kupercaya akan menjadi jodohku kini
telah menjadi istri dari orang lain. Ternyata apa yang teman-temanku katakan itu benar, bahwa
menghadiri resepsi pernikahan mantan seorang diri itu seperti uji nyali, butuh
keberanian lebih untuk tetap melangkah dengan percaya diri.
Aku
berjalan pelan memasuki pintu masuk, berjabat tangan dengan orang-orang yang
senyumnya tak asing bagiku, orang yang dulu aku harap menjadi orang tua kedua
untuku. Ironi sekali bukan? Tapi
sudahlah, harusnya hari ini aku senang, orang yang kucinta sudah menemukan
jodohnya sekarang. Aku masuk dan mengambil hidangan yang disediakan, lalu duduk
dan menikmati makanan yang bercampur kenangan .
“Hey,
akhirnya datang juga. Aku sudah menunggumu dari pagi loh.”
“Eh
pengantinya sudah keluar, kata Ibumu kamu sedang ganti baju tadi.”
“Iya
nih risih pakai kebaya terus.”
“Ya
beginilah resepsi di kampung Bu Guru.”
“Hahaha
iya yah, satu hari penuh. Huft cape banget.”
“Tapi
senang kan?”
“Itu si jangan ditanya. Hahaha.”
“Eh ini
untukmu. Setangkai bunga matahari, yang dulu kau minta kubawakan pada saat hari pernikahanmu.”
“Wah
kamu masih ingat, terima kasih ya. Tapi kok layu?”
“Hahaha
mungin karena bukan aku yang jadi pengantin priaya, eh maksudnya mungkin karena aku petik tadi pagi.”
“Hahaha
pantas saja layu kayak yang bawa.”
“Hahaha
sial. Eh ngomong-ngomong suamimu kenana? Kok aku belum lihat.”
“Tadi
mas Agus sedang sholat kayaknya,
sebentar ya aku panggilkan.”
“Eh
tunggu.”
“Apa
mas?”
“Terima
kasih ya.”
“Untuk
apa mas?”
“Untuk
menolak ajakanku dulu, menolak untuk memperjuangkan keyakinan kita meski tidak
direstui orang tua kita.”
“Kok
terima kasih?”
“Ya
karena kini aku mengerti, menikah itu bukan sekedar mempersatukan dua orang,
tapi dua keluarga. Percuma aku memilikimu tapi kamu kehilangan orang tuamu.”
“Allhamdulillah
mas, sekarang kamu sudah tambah dewasa ya.”
“Alhamdulilah
Mel, oh iya ini ada titipan dari Dewi.”
“Si
Kacamata itu ya? Hahaha akhirnya jadian juga kalian mas.”
“Eh
lagi ngomongin aku ya, asik banget kayaknya.”
“GR
kamu yang, kami lagi ngomong si Dewi yee.”
“Oh
Dewi tunanganmu itu yah Wan? Mana nih
orangnya kok ndak kelihatan?”
“Stttt,
jangan keras-keras mas malu haha. Doi lagi keluar kota mas, Sepupunya juga
nikah hari ini katanya.”
“Oh
begitu ya, yah padahal niatnya mau aku kompor-komporin, hahaha.”
“Hah
kapan tunanganya kok aku ndak tahu sih? Jahat!!!”
“Haha
kapan yah mas, sudah dua bulanan kayaknya
yang.”
“Kamu
kok tahu banyak soal mereka sih yang?”
“Kamu
lupa yah yang? Si Dewi kan satu kantor sama aku, Cuma beda bagian aja. Dia kan
bagian personalia, kalo aku di bagian operator.”
“Oh iya
yah pantesan yang.”
Bla bla
bla… mereka asik berbincang tanpa peduli ada aku didekat mereka, menyebalkan.
Tapi sudahlah, hari ini adalah hari mereka jadi biarlah mereka berbahagia tanpa
perduli orang disekitarnya. Jujur aku masih mencintainya, tapi kini aku
memiliki orang lain yang juga aku cintai. Mungkin cinta pertama tak bisa
dilupakan, tapi pasti akan tergantikan.
Malam
semakin larut, aku pun pamit pulang. Kuucapkan selamat lalu kujabat tangan
mereka dengan erat. Yah kau pasti tahu apa yang aku rasakan. Sedikit sesal
karena harus merelakan. Tapi aku harus terus berjalan, mengikhlaskan dan
menerima cinta baru yang datang. Mungkin kadang bayang-bayang terus datang
menggoyahkan keyakinan. Tapi aku percaya mengikhaskan akan memberi satu lagi
kesempatan untuk aku mempercayakan sebuah keyakinan.
Kring…kring
(suara nada panggilan ponselku)
“Hallo
mas, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,
sudah selesai acaranya?”
“Iya
mas, sudah sepi jadi aku telpon. Kamu sudah pulang dari acaranya mas Agus dan
Melly?”
“Ini
mau pulang, lagi diparkiran.”
“Oh
begitu, ya sudah mas hati-hati dijalan. Jangan keebut-kebutan.”
“Iya
bawel. Haha.”
“Maaf
ya tadi aku ndak bisa ikut.”
“Iya
gak apa-apa, maaf juga aku gak bisa ikut ke Semarang bareng kamu ya.”
“Iya
mas ndak apa-apa, aku paham kok kamu kan susah ngajuin cuti. Lagian kamu juga
bisa datang ke resepsi mas Agus kan.”
“Hee
makasih ya. Eh sudah dulu ya, aku mau pulang dulu. Assalamu’alaikum.”
“Iya
mas, wa’alaikumussalam.”
Tut…tut…tut.
Pada
akhirnya begitulah cinta, kadang aku menjaganya dengan susah payah tapi Ia
dengan mudahnya menyerah. Meyakininya sepenuh hati tapi Ia menghianati. Dan
saat aku menghindarinya berulang-ulang ternyata dialah tempatku untuk pulang.
Sad memang��
BalasHapusYa begitulah, dan setahun setelah tulisan ini dibuat aku mengalami kejadian yang serupa
BalasHapusMungkin akan ada lanjutan ceritanya besok
BalasHapus